Sabtu, 10 Mei 2014

Mari MoveOn Dengan Kelola 'Komoditi' Sampah

Agaknya judul artikel blog penulis ini bisa mengundang tanya Sahabat. Sampah jadi komoditi? Sejak kapan?

Pandangan secara umum, sampah bukanlah komoditi, namun hal yang dianggap menjadi masalah perkotaan di Indonesia. Banyak pemerintah kota / kabupaten yang dibuat pusing oleh untuk mengelola 'produk' warganya tersebut. Dengan semakin pesatnya arus pertumbuhan perkotaan, mau tak mau membawa konsekuensi daerah pemukiman kota meluas dan semakin padat. Seiring meluasnya daerah pemukiman dan aktivitas warganya, tak dapat dihindari lagi, sampah sebagai 'produk' dari aktivitas warga pun ikut bertambah.

Konsep pengelolaan sampah yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah kota dan kabupaten ialah cara sederhana. Mereka menyediakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebagai tempat untuk menumpuk semua sampah yang berasal dari pelosok-pelosok dari pemukiman kota. Untuk sampai ke TPA, sampah dari seluruh area pemukiman warga tersebut diangkut dengan memakai moda transportasi sampah (seperti moda transportasi manusia saja :)). Di TPA, sampah yang berhasil diangkut tersebut selanjutnya dibuang.

Namun, dengan konsep Kumpul-Angkut-Buang dewasa ini sudah tidak relevan.
Banyak kelemahan yang membuat cara konvensional ini tidak lagi efektif. Sebut saja,
  1. Perlu menyediakan area TPA yang semakin luas, seiring dengan terus bertambahnya volume sampah yang diangkut akibat pertumbuhan warga kota (itupun kalau tidak mau disebut sebagai ledakan warga).
  2. Sebelum diangkut dari pemukiman warga menuju TPA, pemerintah kota merasa perlu untuk membangun Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang jumlahnya bisa ratusan di setiap penjuru kota. Penulis pikir alangkah baiknya ruang tanah / bangunan dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk ekspresi warga kota, semisal taman ataupun tenpat yang lain.
  3. Moda transportasi sampah juga masalah tersendiri. Umumnya truk pengangkut sampah yang umum dipakai di Indonesia tidak disertai dengan fasilitas / teknologi pengelolaan sampah selama pengangkutan. Jadi, sampah diperlakukan seperti barang, murni format angkut tidak ada pemrosesan antara. Bila perpindahan suatu barang yang bernilai ekonomi, maka biaya pengangkutannya bisa dimaklumi. Lha kalau sampah? Di zaman semakin sulitnya memperoleh energi yang murah (BBM naik terus bukan...), maka energi yang terbuang untuk memindahkan sampah ke TPA, tentunya patut untuk dipertimbangkan kembali. Belum lagi problem bau sampah yang diangkut bolak-balik tiap hari, dan kemungkinan 'diangkutnya' bibit penyakit.
Untuk semakin membuka gambaran tidak efektif dan makin rumitnya pengelolaan sampah bila tetap terus memakai cara konvensional ini, penulis ada sajikan data tahun 2006 mengenai 'produksi' sampah oleh warga Kota Bandung.

Untuk tahun 2006 saja, dengan jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 2,2 juta jiwa, volume sampah yang dihasilkan mencapai 7.154 m3/hari. Perincian persentase per sumber sampah Kota Bandung 2006 menunjukkan
  • Pemukiman 65,56 %
  • Pasar 18,77 %
  • Jalan 5,52 %
  • Daerah komersial 5,99 %
  • Institusi 2,81 %
  • Industri 1,35 %
Sekarang sudah terlihat jelas khan bahwa dominasi sumber 'produksi' sampah ada di pemukiman warga. Bila tetap menggunakan cara Kumpul-Angkut-Buang, 'ledakan' sampah tinggal menunggu waktu (muncul seiring dengan 'ledakan' penduduk kota).

Untuk itu, perlu konsep terpadu untuk mengantisipasi ledakan ini, kalau perlu membuatnya tidak sampai terjadi. Solusi untuk memupus ledakan ini tentunya langsung mengarah ke sumber potensi 'ledakan' sampah, yakni pemukiman. Bagaimana caranya?

Solusi yang tepat tentu didasarkan atas karakteristik masalahnya. Secara umum, sampah terbagi atas 2 jenis: sampah organik dan sampah anorganik. Dengan tetap meminimalkan konsep angkut, maka kedua jenis sampah tersebut sebaiknya diselesaikan di tempat asalnya yakni rumah warga sendiri.

Sampah Organik
  • Sampah organik rumah umumnya berasal dari sisa-sisa hasil proses di dapur. Untuk sampah jenis ini, solusi takakura dan biopori cukup untuk mengatasinya. Dengan solusi tersebut, sampah organik sudah terselesaikan langsung di tempat 'produksi' sampah, yakni rumah warga. Tak hanya selesai, takakura dan biopori ternyata dapat di-uang-kan. Hal ini disebabkan kedua solusi tersebut menghasilkan kompos yang bernilai ekonomi. Sampah organik pun akhinya menjadi komoditi. Bilapun tidak dijual, kompos tersebut pun bisa dipakai sebagai modal untuk urban farming, berkebun di kota yang sekarang sedang tren.
Sampah Anorganik
  • Bila sampah organik bisa di-uang-kan dengan solusi takakura dan biopori, bagaimana dengan sampah anorganik? Sering kita lihat fenomena munculnya profesi baru di perkotaan, yakni pemulung. Kalau kita perhatikan, para pemulung hanya memungut sampah jenis tertentu saja, yakni sampah yang bernilai jual kembali dan bisa di daur ulang. Nah, bagaimana kalau sekarang tiap warga atau anggota keluarga tiap rumah berprofesi sampingan sebagai pemulung?
  • Tahu tidak sekarang sedang populer Bank Sampah? Nah, dengan Sistem Bank Sampah, maka tiap warga bisa berprofesi sampingan menjadi 'pemulung'. Sampah anorganik yang berasal dari rumah warga dapat dihargai, di-uang-kan, dan ditabung di Bank Sampah. Untuk selanjutnya Bank Sampah akan mengorganisasi tabungan sampah anorganik warga yang sudah mereka kumpulkan untuk kemudian didaur ulang.
Warga sedang menabung sampah

Untuk percepatan, kedua solusi tersebut bisa diujicobakan di pemukiman padat kota, yang biasanya permasalahan kesehatan, pendidikan, sosial, dan kemiskinan turut menempel sebagai ciri-ciri area padat penduduk. Dana yang dikumpulkan dari hasil meng-uang-kan sampah bisa diputar dan dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan komunitas setempat seperti penyelenggaraan pendidikan informal, kegiatan bakti sosial, asuransi kesehatan warga, dan santunan gotong-royong dari warga untuk warga.

Dengan sekaligus menerapkan kedua jalan penyelesaian tersebut diharapkan secara perlahan sampah yang semula dipersepsikan sebagai 'produk' perkotaan yang bermasalah berubah menjadi komoditi bernilai rupiah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...